banner available

Menjual Aloe Vera dalam Ragam Olahan

ALOEVERA : Para perempuan pekerja di I Sun Vera, Siantan sedang membersihkan tanaman lidah buaya sebelum diolah menjadi aneka produk makanan dan minuman. FOTO MUDJADI/PONTIANAKPOST
ALOEVERA : Para perempuan pekerja di I Sun Vera, Siantan sedang membersihkan tanaman lidah buaya sebelum diolah menjadi aneka produk makanan dan minuman. FOTO MUDJADI/PONTIANAKPOST

Aloe vera atau lebih dikenal dengan nama lidah buaya merupakan tanaman ikon kota Pontianak. Beragam produk unggulan dihasilkan dari tanaman ini. Bila Anda jeli, usaha yang satu ini bisa jadi peluang menghasilkan omzet ratusan juta rupiah.

Sebagai ikon kota Pontianak, banyak wisatawan yang mencari olahan lidah buaya untuk oleh-oleh sanak saudara. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh  Sunani, pemilik Pusat Pengolahan Lidah Buaya I Sun Vera di Jalan Budi Utomo, No. 3, Siantan Hulu yang sejak 2004 mengembangkan usahanya. Awalnya dia hanya mengolah jelly dan dodol, kini ada 20 varian olahan lidah buaya hasil racikannya.

Setiap harinya, Sunani bisa memproduksi lebih dari 2 ton lidah buaya untuk diolah menjadi aneka makanan dan minum. Ia memiliki 35 orang karyawan untuk membantunya mengolah lidah buaya, mulai dari produksi hingga pengemasan. Selain dijual di toko miliknya, setiap hari ia juga mengantar ke berbagai toko oleh-oleh di Kota Pontianak. Bahkan beberapa jenis makanan dan minuman tersebut, ada yang dikirim ke luar negeri. “Dulu harganya untuk jelly hanya 30 ribu saja, sekarang sudah 60 ribu. Beberapa jenis barang saya kirim ke luar Kalbar untuk dipasok ke hotel-hotel dan kafe-kafe. Ada pula yang sampai ke luar negeri,” imbuhnya. 

Keberadaan café dan restoran yang menyajikan minuman lidah buaya, cukup memberikan keuntungan baginya. “Pemilik usaha café dan restoran kadang pesan juga ke saya. Lebih banyak itu minuman. Kalau makanan, mereka jarang. Saya juga ada olahan sabun, kue lapisnya, sirup, jus, selai, coklat dan lainnya” katanya.

Tanaman lidah buaya tidak menghasilkan limbah yang banyak. Sisa-sisa potongan lidah buaya itu biasa digunakan untuk pupuk kompos di lahan pertanian lidah buaya miliknya. “Kulitnya itu saya olah jadi kerajinan juga. Sayangnya, saya belum menguasai ilmu pengolahannya agar bisa lebih banyak kreasinya. Sejauh ini hanya dibuat gantungan kunci saja. Orang Malaysia banyak pesan juga,” jelas dia.

Permintaan olahan lidah buaya akan semakin meningkat ketika mendekati lebaran. Namun kata dia, setiap harinya tidak bisa diprediksi, terutama ketika ada even-even tertentu. “Kemarin yang ada even se Indonesia (Festival Khatulistiwa, red) yang datang sampai empat bis,” ujarnya. Sunani mengatakan, untuk memulai usaha ini tidak butuh modal besar. Intinya harus pandai melihat peluang dan berinovasi. “Inovasi itu penting biar tidak bosan. Jadi ada banyak pilihan,” timpalnya.

Secara umum, lanjut dia sangatlah mudah mengolah lidah buaya. Cukup dibersihkan kulitnya,dipotong-potong lalu dicuci bersih. “Kalau minuman dia tidak perlu diblender. Tapi kalau untuk mengolah makanan rata-rata diblender dulu,” jelasnya. Dalam mengembangkan usaha, tentu harus siap dengan segala kendala. Demikian pula usaha pengolahan lidah buaya ini. “Kendala utamanya di air karena proses penyuciannya membutuhkan air cukup banyak. Satu kali pencucian untuk membuang lendirnya bisa 5 sampai 6 kali. Tapi aliran air PDAM ke sini khan tidak selalu lancar. Belum lagi kalau sudah payau, saya harus beli air,” timpalnya yang juga harus menyaring air tersebut.

Meski cuaca di Pontianak tropis, tetapi cuaca juga berpengaruh pada produksi. “Pengolahan lidah buaya ini khan ada yang dijemur. Kalau cuacanya tidak bersahabat juga susah. Untungnya sekarang tempatnya lebih tertutup, jadi kalau hujan tidak basah,” jelasnya.

Kendala lainnya, kata Sunani, ada di bahan baku. Jumlah petani tidak lagi sebanyak dahulu. Dia dan suami pun melakukan pembinaan terhadap para petani. “Saya punya lahan sendiri, sekitar 2 hektar. Tetapi tidak setiap hari di panen. Kalau sekali panen hanya satu ton saja, makanya kami lakukan pembinaan terhadap petani. Lebih sering mengambil dari pasokan petani saja,” jelasnya.

Jaga Kualitas, Terkendala Pengiriman
Untuk menjaga kualitas produk, Sunani menggunakan lidah buaya pilihan. Menurut dia, lidah buaya yang baik digunakan itu diatas 8 ons. “Kalau dibawah 8 ons itu dagingnya tipis, selain itu juga masih banyak lendirnya,” timpalnya. Selain mengembangkan usahanya lewat online, Sunani juga bekerjasama dengan travel dan guide. “Saya bekerja sama dengan travel dan guide. Kalau ada tamu biasanya mereka bawa kesini. Di beberapa hotel juga ada, tapi hanya jus saja,” timpalnya.

Pengiriman juga menjadi kendala yang cukup berarti, terutama untuk minuman. “Minuman itu khan berat, kalau lewat jasa pengiriman mahal. Pernah ada pelanggan saya yang kirim ke anaknya ke luar Kalbar. Biaya produknya Rp 110 ribu, tapi ongkos kirimnya lebih dari 700 ribu. Makanya kalau ada yang ngajak kerjasama, saya kasih harga biasa, tetapi ongkos kirim mereka yang nanggung,” ucap dia.

Mahalnya pengiriman ini juga dikeluhkan oleh Deden Fadenan (30 tahun). Warga asli Lampung yang tinggal di Pontianak ini kesulitan untuk mengirimkan oleh-oleh minuman lidah buaya. “Kalau minuman ekspedisi tidak ada yang mau.

Biasanya saya bawa langsung,” jelasnya. Menurut dia, keberadaan pusat olahan lidah buaya sangat bagus dikembangkan. Hanya saja pemasarannya belum meluas. “Kalau di tempat saya itu belum banyak orang yang tahu dengan produk lidah buaya. Kadang kalau saya bawa pulang,  mereka penasaran dan ingin mencicipi. Mereka juga heran kok lidah buaya yang biasanya untuk rambut tapi bisa dinikmati,” pungkasnya.  (
Marsita Riandini)
Share on Google Plus

About MOMO

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment